Keluarga Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah
Dalam kehidupan berkeluarga, kita
sering sekali mendengar istilah Sakinah, Mawaddah dan wa Rahmah.
Ketiga kata tersebut sering dikaitkan dengan keluarga yang harmonis. Mungkin
dari kita belum mengetahui makna dari Sakinah, Mawaddah dan wa Rahmah.
Jika anda ingin mengetahui makna dari ketiga kata tersebut, mari simak ulasan
yang kami kutip dari edukasi.kompasiana.com berikut ini.
Sebagaimana diketahui, kata sakinah,
mawadah dan rahmah itu diambil dari firman ALLAH SWT:
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri (pasangan) dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih (mawadah) dan sayang (rahmah).
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir” (Ar-Rum : 21).
Makna Sakinah
Kata sakinah berasal dari bahasa
Arab. Dalam bahasa Arab, kata sakinah mengandung makna tenang, tenteram, damai,
terhormat, aman, nyaman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, dan memperoleh
pembelaan. Dengan demikian keluarga sakinah berarti keluarga yang semua
anggotanya merasakan ketenangan, kedamaian, keamanan, ketenteraman,
perlindungan, kebahagiaan, keberkahan, dan penghargaan.
Kata sakinah juga sudah diserap
menjadi bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sakinah
bermakna kedamaian; ketenteraman; ketenangan; kebahagiaan.
Makna Mawaddah
Kata mawaddah juga berasal dari
bahasa Arab. Mawaddah adalah jenis cinta membara, perasaan cinta dan kasih
sayang yang menggebu kepada pasangan jenisnya. Mawaddah adalah perasaan cinta
yang muncul dengan dorongan nafsu kepada pasangan jenisnya, atau muncul karena
adanya sebab-sebab yang bercorak fisik. Seperti cinta yang muncul karena
kecantikan, ketampanan, kemolekan dan kemulusan fisik, tubuh yang seksi; atau
muncul karena harta benda, kedudukan, pangkat, dan lain sebagainya.
Biasanya mawaddah muncul pada
pasangan muda atau pasangan yang baru menikah, dimana corak fisik masih sangat
kuat. Alasan-alasan fisik masih sangat dominan pada pasangan yang baru menikah.
Kontak fisik juga sangat kuat mewarnai pasangan muda.
Misalnya ketika seorang lelaki
ditanya, “Mengapa anda menikah dengan perempuan itu, bukan dengan yang
lainnya?” Jika jawabannya adalah, “Karena ia cantik, seksi, kulitnya bersih”,
dan lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah mawaddah.
Demikian pula ketika seorang
perempuan ditanya, “Mengapa anda menikah dengan lelaki itu, bukan dengan yang
lainnya ?” Jika jawabannya adalah, “Karena ia tampan, macho, kaya”, dan lain
sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah yang disebut mawaddah.
Kata mawaddah juga sudah diserap ke
dalam bahasa Indonesia, menjadi mawadah (dengan satu huruf d). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata mawadah bermakna kasih sayang.
Makna Rahmah
Rahmah berasal dari bahasa
Arab. yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, juga
rejeki. Rahmah merupakan jenis cinta dan kasih sayang yang lembut,
terpancar dari kedalaman hati yang tulus, siap berkorban, siap melindungi yang
dicintai, tanpa pamrih “sebab”. Bisa dikatakan rahmah adalah perasaan cinta dan
kasih sayang yang sudah berada di luar batas-batas sebab yang bercorak fisik.
Biasanya rahmah muncul pada pasangan
yang sudah lama berkeluarga, dimana tautan hati dan perasaan sudah sangat kuat,
saling membutuhkan, saling memberi, saling menerima, saling memahami. Corak
fisik sudah tidak dominan.
Misalnya seorang kakek yang berusia
80 tahun hidup rukun, tenang dan harmonis dengan isterinya yang berusia 75
tahun. Ketika ditanya, “Mengapa kakek masih mencintai nenek pada umur setua
ini?” Tidak mungkin dijawab dengan, “Karena nenekmu cantik, seksi, genit”, dan
seterusnya, karena si nenek sudah ompong dan kulitnya berkeriput.
Demikian pula ketika nenek ditanya,
“Mengapa nenek masih mencintai kakek pada umur setua ini?” Tidak akan dijawab
dengan, “Karena kakekmu cakep, jantan, macho, perkasa”, dan lain sebagainya;
karena si kakek sudah udzur dan sering sakit-sakitan. Rasa cinta dan kasih
sayang antara kakek dan nenek itu bahkan sudah berada di luar batas-batas
sebab. Mereka tidak bisa menjelaskan lagi “mengapa dan sebab apa” masih saling
mencintai.
Kata rahmah diserap dalam bahasa
Indonesia menjadi rahmat (dengan huruf t). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata rahmah atau rahmat bermakna belas kasih; kerahiman; karunia (Allah);
dan berkah (Allah).
Ciri Keluarga Sakinah
Saya sering membuat ciri yang
sederhana, kapan keluarga anda disebut keluarga sakinah. Misalnya seorang suami
bekerja di luar rumah, dan pulang ke rumah setiap sore jam 17.00. Jika suami
ini merasa tenang, damai, nyaman, tenteram saat semakin dekat ke rumah, maka ia
memiliki perasaan sakinah. Namun jika setiap kali mau pulang, semakin dekat ke
rumah hatinya semakin gelisah, tidak nyaman, enggan pulang karena tidak tenang,
maka sangat dipertanyakan dimana rasa sakinahnya.
Demikian pula saat isteri di rumah,
ia mengetahui bahwa setiap jam 17.00 suaminya pulang ke rumah. Jika semakin
dekat dengan jam kepulangan suami, hatinya semakin bahagia, tenang dan
tenteram, maka ia memiliki perasaan sakinah. Namun jika semakin dekat dengan
jam kepulangan suami hatinya berdegup kencang, tidak tenang, takut dan gelisah,
maka sangat dipertanyakan dimana sakinahnya.
Apalagi jika si isteri berdoa
“Semoga suamiku tidak jadi pulang, semoga suamiku dapat tugas lembur lagi
sampai bulan depan”; atau bahkan “Semoga suamiku kecelakaan dan meninggal
dunia”, maka sakinah sudah tidak ada lagi.
Keluarga sakinah memiliki suasana
yang damai, tenang, tenteram, aman, nyaman, sejuk, penuh cinta, kasih dan
sayang. Keluarga yang saling menerima, saling memberi, saling memahami, saling
membutuhkan. Keluarga yang saling menasihati, saling menjaga, saling melindungi,
saling berbaik sangka. Keluarga yang saling memaafkan, saling mengalah, saling
menguatkan dalam kebaikan, saling mencintai, saling merindukan, saling
mengasihi. Keluarga yang diliputi oleh suasana jiwa penuh kesyukuran,
terjauhkan dari penyelewengan dan kerusakan. (Sumber: http://edukasi.kompasiana.com)
ASPEK
PENDIDIKAN
Kehidupan kita dimulai di dalam
lingkungan keluarga. Kita besar dan dididik di dalam keluarga kita. Kita tumbuh
dari kecil dalam lingkungan keluarga. Orang tua mengajar bagaimana kita harus
bertindak. Orang tua juga yang membesarkan kita dengan pendidikan dan etika.
Jika kita melihat seorang anak kecil sering mengucapkan kata-kata kasar, apakah
kita sadar bahwa anak tersebut tumbuh di lingkungan keluarga, sehingga
terkadang kita malah menyalahkan anak tersebut, padahal yang seharusnya
disalahkan adalah pendidikan dalam keluarganya? Sering kali kita menyalahkan
anak kecil yang berbuat salah, padahal bukankah anak kecil belajar dan
mencontoh tindakan atau perilaku dari orang dewasa?
Pendidikan keluarga sangat penting
namun seringkali dianggap tidak penting. Etika yang benar harus diajarkan
kepada anak semenjak kecil, sehingga ketika seorang anak menjadi dewasa, ia
akan berperilaku baik. Tentu saja perilaku orang tua juga harus baik dan benar
sebagai contoh untuk anaknya. Jikalau semenjak kecil seorang anak diajarkan
dengan baik dan benar maka keluarga tersebut akan harmonis. Dan seandainya
setiap keluarga mengajarkan nilai-nilai etika yang benar maka semua manusia
akan hidup berdampingan dan damai.
Pendidikan adalah segala usaha yang
dilakukan untuk menyampaikan kepada orang atau pihak lain segala hal untuk
menjadikannya mampu berkembang menjadi manusia yang lebih baik, lebih bermutu,
dan dapat berperan lebih baik pula dalam kehidupan lingkungannya dan
masyarakatnya.
Keluarga merupakan wahana pertama
dan utama dalam pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan
pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi
lain di luar keluarga (sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam
membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak
berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memilki kesadaran bahwa
karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
Keberhasilan keluarga dalam
menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada
jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat
didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dan orang tua yang meliputi
pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dll) dan kebutuhan psikologis
(seperti rasa aman, kasih sayang, dll), serta sosialisasi norma-norma yang
berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya.
Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak
dalam rangka pendidikan karakter anak.
ASPEK
EKONOMI
Jika kita cermati secara mendalam,
selama ini pemerintah mengelompokkan keluarga di Indonesia ke dalam dua tipe.
Pertama,
tipe keluarga pra-sejahtera. Yang kita bayangkan ketika mendengar keluarga tipe
ini adalah keluarga yang masih mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya berupa sandang, pangan, dan papan. Keluarga pra-sejahtera
identik dengan keluarga yang anaknya banyak, tidak dapat menempuh pendidikan
secara layak, tidak memiliki penghasilan tetap, belum memperhatikan masalah
kesehatan lingkungan, rentan terhadap penyakit, mempunyai masalah tempat
tinggal dan masih perlu mendapat bantuan sandang dan pangan.
Kedua,
tipe keluarga sejahtera. Yang terbayang ketika mendengar keluarga tipe ini
adalah sebuah keluarga yang sudah tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya. Keluarga sejahtera identik dengan keluarga yang
anaknya dua atau tiga, mampu menempuh pendidikan secara layak, memiliki
penghasilan tetap, sudah menaruh perhatian terhadap masalah kesehatan
lingkungan, rentan terhadap penyakit, mempunyai tempat tinggal dan tidak perlu
mendapat bantuan sandang dan pangan.
Selama ini konsentrasi pembinaan
terhadap keluarga yang dilakukan oleh pemerintah adalah menangani keluarga
pra-sejahtera. Hal itu terlihat dari program-program dasar pembinaan keluarga
seperti perencanaan kelahiran (KB), Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU), pelayanan
kesehatan gratis, pembinaan lansia, pengadaan rumah khusus keluarga
pra-sejahtera dan sejenisnya.
Namun demikian, jika kita cermati
dari tahun ke tahun terkesan bahwa program pembinaan keluarga menjadi jalan di
tempat. Jika kita berani melakukan refleksi atas hasil pembinaan yang selama
ini dilakukan, dapat terlihat beberapa gejala sebagai berikut:
Pertama,
walaupun sudah dilakukan pembinaan bertahun-tahun masih banyak keluarga yang
mengikuti program-program secara pasif partisipatif.
Kedua,
masyarakat menganggap bahwa program pembinaan keluarga identik dengan program
pemberian bantuan tertentu.
Ketiga,
program pembinaan keluarga identik dengan program pembinaan keluarga miskin.
Seiring dengan perkembangan zaman
yang semakin pesat, kiranya perlu dilakukan pembenahan dimana keluarga
diarahkan untuk menjadi keluarga yang secara sadar dan proaktif berjuang
menjadi keluarga yang sehat dan sejahtera. Istilah yang kiranya tepat dan
berbau promotif adalah membangun keluarga kreatif, yaitu keluarga yang mampu
mengenali permasalahan keluarganya masing-masing, mencari alternative dalam
mengatasi masalah, dan secara proaktif merencanakan masa depan sendiri sesuai
situasi dan kondisi masing-masing.
Persoalannya adalah bagaimana kita
mampu melakukan pembinaan terhadap keluarga agar berkembang menjadi keluarga
kreatif. Ada beberapa yang dapat dilakukan, yaitu:
Ø Melakukan
pembinaan dan pendampingan manajemen ekonomi keluarga.
Ø Pembinaan
kewirausahaan.
Ø Pemberian
bantuan usaha modal usaha.
Ø Pendidikan
kreativitas.
Jika saja banyak keluarga Indonesia
yang berkembang ke arah keluarga kreatif, dapat diyakini bahwa semakin hari
semakin banyak keluarga Indonesia yang mampu mewujudkan diri menjadi keluarga
yang sehat, sejahtera, sekaligus mandiri. Jika demikian, pemerintah tidak perlu
lagi banyak mengeluarkan anggaran yang bersifat konsumtif untuk masyarakat.
Jika anggaran konsumtif yang selama ini dikenal sebagai subsidi dapat ditekan
seminimal mungkin, maka secara perlahan-lahan perekonomian negara menjadi lebih
kuat. Dan pada akhirnya keluarga sehat, sejahtera, mandiri dapat terwujud,
negara yang sehat, sejahtera, dan mandiri perlahan-lahan dapat terwujud pula.
ASPEK
SOSIAL BUDAYA
Perkembangan anak pada usia antara
tiga-enam tahun adalah perkembangan sikap sosialnya. Konsep perkembangan sosial
mengacu pada perilaku anak dalam hubungannya dengan lingkungan sosial untuk
mandiri dan dapat berinteraksi atau untuk menjadi manusia sosial.
Interaksi adalah komunikasi dengan manusia lain, suatu hubungan yang menimbulkan
perasaan sosial yang mengikatkan individu dengan sesama manusia, perasaan hidup
bermasyarakat seperti tolong menolong, saling memberi dan menerima, simpati dan
empati, rasa setia kawan dan sebagainya.
Melalui proses interaksi sosial
tersebutlah seorang anak akan memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan
perilaku-perilaku penting yang diperlukan dalam partisipasinya di masyarakat
kelak; dikenal juga dengan sosialisasi. Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan Zanden (1986) bahwa kita terlahir bukan sebagai manusia, dan baru
akan menjadi manusia hanya jika melalui proses interaksi dengan orang
lain. Artinya, sosialisasi merupakan suatu cara untuk membuat seseorang
menjadi manusia (human) atau untuk menjadi mahluk sosial yang
sesungguhnya (social human being).
Terdapat
tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu:
1. Status
sosial, dimana dalam keluarga distrukturkan oleh tiga struktur utama, yaitu
bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Sehingga keberadaan status sosial menjadi
penting karena dapat memberikan identitas kepada individu serta memberikan rasa
memiliki, karena ia merupakan bagian dari sistem tersebut.
2. Peran
sosial, yang menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut
status sosialnya.
3. Norma
sosial, yaitu standar tingkah laku berupa sebuah peraturan yang menggambarkan
sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosial.
NB: Semoga kita
memiliki keluarga sakinah mawaddah warahmah